Saat mengisi acara diskusi Perda Parawisata yang diselenggarakan DPD II Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Kota Tangerang, Ade Yunus Albarzanzi menganggap Perda itu harus dikaji ulang karena beberapa isi dalam aturan ijin usaha hiburan disebutkan mengandung permasalahan.

“Mestinya ‘Legal Draftingnya’ harus sesuai dengan kaidah, 1. Kejelasan tujuan, 2. Kelembagaan atau organ pembentukan yang tepat, 3. Kesesuaian antar jenis dan materi muatan, 4. Dapat dilaksanakan, 5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan, 6. Kejelasan rumusan dan 7, keterbukaan. Jadi, perda yang dibuat harus sesuai asas itu,” terang Ade, Minggu (13/11).

Ade juga mencermati bahwa Pembahasan Perda telah mengabaikan peraturan perundangan yang telah lahir lebih awal yang telah dimiliki Kota Tangerang, seperti Perda nomor 5 tahun 2001 tentang Ijin Usaha Kepariwisataan.

Selain itu juga materi yang ada didalam kandungan Perda Pariwisata telah mengabaikan peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tahun 2014 yang khususnya standar usaha Karaoke dan SPA.

“Kita ketahui, perda Kota Tangerang tentang Izin Usaha Pariwisata kan pernah ada, kenapa ini di abaikan, dan dilihat dari syarat Sertifikasi juga Perda mengabaikan peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.”

“Lalu, keterbukaan tak dijalankan, karena lapisan masyarakat tak mengetahui saat perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan perda itu.”

Ia juga menyebutkan dalam pembahasan, Public Hearing atau uji publik itu wajib, karena bagian dari asas penyusunan Perda.

Dan menurutnya Perda itu telah bertentangan dengan motto Kota Tangerang, kemudian juga bertentangan dengan Perda Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Pelarangan Pengedaran dan Penjualan Miras dan Perda Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Pelarangan Pelacuran Kota Tangerang.

“Ini akan menjadi ladang bagi para oknum yang melakukan praktik Usaha prostitusi dan menyebarkan Usaha dagangan Miras, kita lihat muatannya materi yang terkandung di dalam Perda itu, tak mempunyai pengaturan mengenai batas jarak secara spesifik antara lokasi tempat hiburan karoke dengan tempat ibadah ataupun tempat pendidikan.”

Menurutnya karena tidak ada pengaturan yang jelas bisa jadi kata Ade tempat karaoke atau panti pijat nanti bisa bersebelahan dengan tempat ibadah.

Maka pihaknya meminta kepada pemerintah untuk dapat mengkaji ulang Perda Pariwisata atau menunda peregisteran perda itu ke Mendagri. Agar tak menjadi polemik baru di wilayah Kota Tangerang.

“Agar tak menjadi permasalahan. Lalu, harus dipisahkan Perda Pariwisata dengan Tempat Hiburan, seperti karoke, tempat panti pijat dan SPA. Agar tempat hiburan tersebut dapat diatur lebih spesifik dan memperketat standart pemberlakuan ijinnya dengan sesuai peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,” pungkas Ade.

http://www.penamerdeka.com/7302/lsm-janur-perda-pariwisata-kota-tangerang-bermasalah-dikaji-ulang.html